Oleh : Darto, S.Pd
Kepala SMP Negeri 3 Depok Sleman
Sebuah artikel dari LITBANG KOMPAS, yang di tulis oleh MB DEWI PANCAWATI 26 Maret 2020 07:07 WIB, dengan judul Suka Duka Belajar di Rumah, menggelitik saya sebagai Kepala Sekolah untuk bersikap menakar daya tahan siswa dalam mengikuti BDR.
Dalam artikel tersebut secara gamblang disebutkan ;
Pertama : Bagi sebagian siswa di perkotaan, sistem belajar jarak jauh ini tentu tidak menjadi kendala karena tersedianya fasilitas. Namun, di sisi lain, tugas-tugas yang diberikan guru dinilai terlalu membebani anak dan dikhawatirkan bisa menimbulkan masalah psikologis.
Kedua : Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima 51 pengaduan dari berbagai daerah yang mengeluhkan anak menjadi tertekan dan kelelahan karena beban tugas. Tenggat waktu yang diberikan sempit, padahal banyak tugas yang harus dikerjakan segera dari guru mata pelajaran yang lain. Jika anak terbebani, bisa menimbulkan masalah kesehatan fisik dan mental yang justru akan memengaruhi imunitasnya. Dalam hal ini, KPAI mendorong para pemangku kepentingan di pendidikan membangun rambu-rambu untuk para guru sehingga proses belajar dari rumah ini bisa berjalan dengan menyenangkan dan bermakna buat semua. Tugas yang diberikan tidak selalu mengerjakan soal, tetapi dengan kreativitas lain yang justru menimbulkan semangat dan mengasah rasa ingin tahu anak-anak.
Ketiga : Banyaknya tugas yang diberikan guru dimaksudkan agar anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, hingga tidak ada kesempatan bermain-main dan berkumpul dengan teman-temannya. Hal ini demi mencegah anak-anak terpapar virus korona dan agar penyebaran virus ini tidak semakin meluas. Selain itu agar proses belajar juga tetap berjalan.
Keempat : Dampak home learning juga dirasakan orangtua yang juga bertambah bebannya karena harus menjadi guru di rumah, mengajari membuat tugas-tugas, dan selalu memonitor.
Bisa dibayangkan jika anak lebih dari satu dan masih perlu pendampingan dalam mengerjakan tugas. Belum lagi harus menyiapkan makanan dan pekerjaan rumah tangga lainnya.
Bagi orangtua yang bekerja dan juga sedang menjalankan pekerjaan dari rumah, tantangannya akan bertambah lagi karena selain mendampingi anak belajar, juga mempunyai tugas pekerjaan kantor yang harus diselesaikan.
Suka duka selama proses home learning ini bermacam-macam. Sebagian orangtua lebih senang anak belajar di sekolah. Selain pulsa internet yang membengkak, salah satu keluhan orangtua adalah bertambahnya pengeluaran untuk konsumsi yang lebih besar dari uang saku anak tiap hari.
Namun, nilai positifnya adalah ada lebih banyak waktu berkumpul dengan keluarga dan mendekatkan hubungan emosional antara orangtua dan anak. Dan yang lebih penting adalah keluarga lebih terlindungi dari paparan virus korona.
Dari temuan tersebut dapat kita ukur seberapa besar daya tahan anak –anak kita dalam melaksanakan BDR.
Pertama: Kendala fasilitas yang dapat mengganggu kondisi psikologis, daya tahan psikologis siswa hanya bertahan 3 hari, kalau tiga hari dapat diatasi nshAllah, BDR masih bisa bertahan, namun jika tidak psikologisnya akan bereaksi menjadi putus asa, ill feel, atau acuh tak acuh.
Kedua : Kendala tertekan dan kelelahan karena beban tugas sehingga imunitas tubuh menurun, daya tahan BDR dalam kondisi ini hanya kan bertahan 5 hari. Oleh karena itu jika sekolah menerapkan BDR dalam waktu seminggu lima hari sekolah, maka minggu berikutnya harus sudah dirubah. Pada hari pertama sebenarnya sudah merasakan tekanan, namun masih berharap pada hari kedua ada perubahan, demikian hingga hari ke-4, eh ternya hari ke-5 belum ada perubahan maka puncaknya pada pekan berikutnya, yaitu minggu berikutnya sudah terasa ada batuk batuk, atau sedikit pusing…
Ketiga : Banyak tugas agar stay at home, sesungguhnya baik namun dapat mendatangkan ketegangan, kondisi ini akan memungkinkan daya tahan BDR hanya selama 5 hari. Perlu variasi dan perubahan agar memerpanjang daya tahan BDR.
Keempat : Orang tua harus berperan ganda pencari nafkah dan guru di rumah, kondisi ini akan memungkinkan BDR bertahan 10 hari ( dua minggu), hal ini terjadi jika amunisi dan bahan pemenuhan makanan, camilan saat BDR masih tersedia, jika sudah tidak tersedia maka orang tua lebih memilih peran mencari nafkah dari pada mendampingi anak anak belajar. Saat itulah sesungguhnya orang tua lebih suka anak anak belajar di sekolah.
Jadi setelah tiga pekan ini masihkah anak anak punya daya tahan Belajar Dari Rumah?
Secara rasional ya..sudah habis sejak pekan kedua berakhir. Namun jika pada pekan ketiga masih bertahan itu berarti luar biasa. Betapapun demikian perlu ada variasi dan perubahan, jika tidak, ya…. saya yakin BDR hanya program tanpa hasil dan sangat membosankan.
Sekolah harus segera mencari tahu,
masih berapa persenkah semangat anak anak nya untuk bertahan BDR?
dan bentuk BDR seperti apakah yang cocok untuk efektifitasnya?